Penyitaan sembilan aset milik mantan Bupati Buton Samsu Umar Abdul Samiun bukanlah sekadar cerita gagal bayar biasa. Ini adalah alarm keras tentang bagaimana seorang pejabat publik bisa terjerat utang puluhan miliar rupiah hingga dinyatakan pailit oleh pengadilan. Kasus ini memantik pertanyaan mendasar: sejauh mana pengawasan terhadap perilaku ekonomi pejabat daerah, dan mengapa baru hukum perdata yang berbicara?

Putusan pailit PN Makassar yang dikuatkan Mahkamah Agung terhadap Umar Samiun menunjukkan bekerjanya sistem hukum perdata di Indonesia. Namun, di balik kepailitan ini tersimpan pertanyaan yang lebih besar: dari mana seorang mantan bupati memperoleh kemampuan untuk berutang dalam skala puluhan miliar? Apakah utang tersebut terkait dengan aktivitas bisnis pribadi, ataukah ada benang merah dengan masa jabatannya?

Penyitaan aset yang tersebar dari Sulawesi Tenggara hingga Jawa—Baubau, Buton, Bogor, Karawang, dan Tangerang Selatan—menggambarkan skala kepemilikan aset yang tidak sederhana. Rentang geografis kepemilikan ini seharusnya menjadi perhatian lembaga pengawas seperti KPK dan PPATK. Jika aset-aset tersebut diperoleh secara sah, mengapa kemampuan finansial untuk melunasi utang tidak sebanding? Jika tidak, mengapa tidak ada investigasi lebih lanjut?

Kasus Umar Samiun seharusnya memicu audit menyeluruh terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang pernah dilaporkannya selama menjabat. Kepemilikan properti di beberapa kota besar dan kota-kota satelit Jakarta menunjukkan pola investasi yang perlu dijelaskan sumbernya.

Pertanyaannya bukan hanya tentang legalitas kepemilikan, tetapi juga rasionalitas ekonomi: bagaimana seorang bupati dengan gaji resmi yang terbatas mampu membangun portofolio properti lintas provinsi? Jika ini hasil usaha yang sah, transparansi menjadi kunci untuk membersihkan stigma. Namun jika ada kejanggalan, aparat penegak hukum tidak boleh berhenti di putusan kepailitan saja.

Kasus ini mengekspos kelemahan sistemik dalam pengawasan pejabat daerah. Pertama, mekanisme LHKPN tampaknya hanya menjadi ritual administratif tanpa verifikasi substantif. Kedua, lembaga pengawas internal seperti Inspektorat Daerah dan eksternal seperti BPK perlu lebih proaktif dalam mendeteksi anomali kekayaan.

Ketiga, dan mungkin paling penting, perlu ada mekanisme “red flag” ketika pejabat publik terlibat dalam transaksi bisnis atau utang dalam skala besar. Sistem peringatan dini semacam ini sudah lazim di negara-negara dengan tata kelola pemerintahan yang baik. Indonesia tidak bisa lagi mengandalkan pengungkapan kasus hanya setelah terjadi sengketa perdata atau pidana.

Kepailitan Umar Samiun akan berujung pada lelang aset untuk membayar kreditur. Dari perspektif hukum perdata, ini adalah resolusi yang adil. Namun dari perspektif kepentingan publik, pertanyaan yang lebih besar tetap menggantung: apakah ada kerugian negara yang belum terungkap? Apakah ada penyalahgunaan wewenang selama masa jabatan yang memfasilitasi akumulasi kekayaan atau utang ini?

Masyarakat Buton dan publik Indonesia berhak mendapat jawaban. Kepailitan tidak boleh menjadi titik akhir, tetapi harus menjadi pintu masuk bagi investigasi yang lebih komprehensif. KPK, Kejaksaan, dan lembaga terkait perlu melihat kasus ini bukan sekadar sebagai perkara perdata, tetapi sebagai indikator potensial dari masalah yang lebih sistemik.

Reva Agustina C1D323032 (A)


1 Komentar

A WordPress Commenter · April 9, 2021 pada 1:34 pm

Hi, this is a comment.
To get started with moderating, editing, and deleting comments, please visit the Comments screen in the dashboard.
Commenter avatars come from Gravatar.

Tinggalkan Balasan ke A WordPress Commenter Batalkan balasan

Avatar placeholder

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *